“Grand Duchess!!!”
teriak Bibi Olga—adik dari Permaisuri Svetlana pada Natalya. Natalya tidak
menghiraukan teriakan bibinya dari teras istana. Ia sibuk mengayun-ayunkan pedang yang ia pegang.
“Grand
Duchess Natalya! Mohon dengarkan aku! Raja!!” teriaknya lagi dengan memohon
agar Natalya menghentikan latihannya. Ayunan pedangnya yang berkilau karena
sinar matahari terhenti sejenak. Ia memanggil pengawal, dan menyuruhnya untuk
meletakkan pedangnya di tempat penyimpanan. Ia melepas pengaman tubuh yang ia
kenakan selama latihan, dan berjalan mendekati bibinya.
“Ada
apa?” tanyanya terlihat heran. Bibi Olga segera membawanya ke kamar, dan
mengunci pintu kamar rapat-rapat. Ia tidak ingin seorangpun mendengar
pembicaraannya.
“Pergi
dari istana ini secepatnya.” perintahnya dengan berat hati. Ia memeluk Natalya,
dan melingkarkan bandul bermutiara merah di lehernya.
“Kelompok
Donskoi telah menghianati keluarga
kerajaan. Satu-satunya yang ia inginkan adalah bandul ini.” ucap Bibi Olga sambil
menunjuk bandul yang telah dikalungkannya.
“Pergilah.“
ucapnya lagi, dan memeluk Natalya untuk terakhir kali. Natalya mempererat
pelukannya pada bibi—orang yang mengerti bagaimana dirinya. Ia tahu, lambat
laun semua ini akan terjadi. Ia
mengambil pedangnya, dan pergi meninggalkan istana—tempat
kelahirannya—tempat ia menaruh harapan yang kuat pada dirinya. Ia mempercepat
langkahnya, karena sekelompok laki-laki berjubah hitam berlari
mengejarnya—suruhan Donskoi.
***
Natalya
Ivanovna Zakharin—putri tunggal dari Tsar
Ivan, dan Permaisuri Svetlana.
Natalya terlahir dari keturunan bangsawan dengan kehidupan istana yang serba
mewah. Ia tidak pernah tahu bagaimana kekejaman, dan kesadisan keluarga
kerajaan. Hingga ia berumur 20 tahun barulah ia mengetahui kejamnya politik
istana, ketika keluarga harus saling membunuh.
Donskoi—adik
kandung dari Tsar Ivan yang berniat menggulingkan ayahnya dari
tampuk kekuasaan. Hal ini dikarenakan ayahnya tidak mempunyai keturunan
laki-laki yang bisa menggantikan kursi seorang raja. Donskoi juga takut jika
Natalya menikah, karena kursi kerajaan akan berpindah pada suaminya. Donskoi mempermudah
ambisinya dengan bersikap licik, dan menghalalkan segala cara agar ia bisa
mempengaruhi ayah dan ibunya. Donskoi yang mewarisi kekuatan nenek buyutnya mampu
mencuci otak siapa saja, dan dengan mudah
meminta apa yang ia inginkan. Bibi Olga telah mengetahui kebusukan hati
Donskoi jauh sebelum ia lahir. Bibi Olga juga memiliki kekuatan magis yang
mampu membaca pikiran orang lain. Karena hal itulah ia disuruh meninggalkan
istana, karena Bibi Olga tidak ingin dirinya ikut teracuni oleh pencucian otak
Donskoi. Semua yang diinginkan Donskoi—kursi kerajaan terletak di
dirinya—bandul merah yang dikalungkan Bibi Olga padanya.
***
Ia melarikan
diri ke hutan, dan melewati Pegunungan
Ural yang terjal. Ia berharap suruhan Donskoi tidak akan mencarinya hingga ke
sini. Haripun semakin larut, dan ia kehabisan tenaga untuk melanjutkan
pelariaannya. Ia menyusuri semak belukar yang tinggi, dan tersenyum ketika
melihat gubuk tua di tengah hutan.
Ia
memasuki gubuk tua itu sambil berdeham, berharap ada seseorang yang menyadari
kedatangannya. Namun, ia tidak menemukan seorangpun di dalamnya. Tidak ada yang
istimewa dari gubuk tua itu. Hanya ada satu tempat tidur dari rotan, tempat
makan, dan lampu minyak yang masih menyala. Ia berjalan ke belakang gubuk, dan
menemukan perlengkapan pedang tersusun rapi. Ia menyentuh beberapa pedang yang
menurutnya pernah ia gunakan. Ia ingin berjalan lebih jauh ke belakang, tetapi
seseorang mengejutkannya.
“Siapa
kau?” ucap laki-laki itu lantang, sambil mengeluarkan pedang untuk berjaga-jaga. Spontan ia pun
mengeluarkan pedangnya. Ia tidak menjawab, karena laki-laki itu telah
menyerangnya. Ia dengan sigap memainkan pedangnya dengan mahir. Tetapi karena terlalu
lelah untuk bertarung, pedangnya terjatuh. Laki-laki itu menyandarkannya ke
dinding, dan mengarahkan pedang ke
lehernya.
“Siapa
kau?” tanyanya sekali lagi. Natalya mengeluarkan bandul merah yang ia
sembunyikan di balik bajunya. Tiba-tiba laki-laki itu menjatuhkan pedangnya.
“Grand Duchess?” Matanya melebar, dan
segera berlutut di hadapan Natalya.
“Bagaimana
Putri bisa ada di sini?” tanya laki-laki itu dengan nada bersalah. Ia hanya
diam, sambil meminum apa yang diberikan laki-laki itu.
“Maafkan
aku, Putri. Aku sungguh tidak tahu Putri. Maaf.” ucapnya berlutut sekali lagi.
Natalya meraih tangannya, dan tersenyum padanya.
“Lindungi aku di sini. Titahku padamu.” perintahnya.
***
“Sebenarnya
aku sudah mengetahui rencananya, Putri.” ucap Yacht—laki-laki di gubuk tua. Ia
tampak terkejut, dan mengisyaratkan agar Yacht melanjutkan ceritanya.
“Donskoi
itu orang kuat, Putri. Apapun bisa dilakukannya. Beberapa tahun yang lalu, ia
mengajakku berkerjasama untuk menggulingkan Tsar.”
lanjutnya.
“Kau
kenal Donskoi?” tanyanya agak meninggi.
”Tentu,
Putri. Aku telah berkerja selama 10 tahun untuk pembuatan pedang kerajaan.
Karena kepandaianku membuat pedang, ia ingin merekrutku untuk memperlancar
ambisinya.” Natalya mengangguk-angguk paham. Sekarang ia mengerti kenapa banyak
pedang di belakang gubuk.
“Aku
juga sering melihat Putri latihan pedang.” tambahnya sedikit menyeringai.
Natalya menatapnya tajam, dan Yacht segera menunduk.
“Maaf, Putri. Aku lancang.”
“Ceritakan
padaku lebih banyak tentang Donskoi, bisa?” Ia ingin mengetahui lebih banyak
tentang Donskoi yang tega menghancurkan keluarganya. Yacht mengangguk, dan
berdiri untuk mengambil sebuah buku yang usang. Ia membuka buku tersebut, dan
mengeluarkan secarik kertas yang tak kalah usangnya. Ia memberikan pada
Natalya.
“Bacalah.”
suruhnya.
“Ini
buku harian Donskoi. Aku tidak sengaja menemukan ini di kamarnya, ketika ia
mengundangku untuk minum teh bersama. Karena penasaran aku pun mengambil, dan
membacanya.” ucap Yacht menjelaskan identitas buku yang ia pegang. Ia hanya
diam mendengarkan penjelasan Yacht yang menurutnya sangat penting.
“Seperti
yang tadi kukatakan, ia sangat kuat. Bahkan ia bisa membunuh tiga orang saudara
laki-laki Putri ketika dalam kandungan.” Matanya melebar, dan berusaha menahan
emosinya yang kian meluap pada Donskoi.
“Donskoi
bisa menerawang bayi yang dikandung oleh ibumu, Putri. Makanya, ketika ia tahu
bayi yang dikandung ibumu perempuan, ia tidak membunuhnya.” ucapnya sambil
menatap sekilas wajah Natalya yang terlihat emosi.
“Target
selanjutnya, Putri, dan bandul merah itu.” ucapnya sambil menunjuk bandul merah
Natalya. Ia menutup bukunya, dan meletakkannya di meja.
“Percayalah,
Putri. Semuanya akan baik-baik saja. Aku akan membantumu, Putri. Aku setia pada
Tsar Ivan.” Ia menengadah, melihat sosok laki-laki yang
begitu saja hadir di atas masalahnya. Emosi yang tadinya meluap, perlahan
menjadi sebuah tangisan.
“Aku
ingin mereka kembali. Keluarga yang utuh.” ucapnya miris. Ia menunduk,
menyembunyikan air matanya karena malu. Yacht seketika berlutut di depannya,
dan melihat wajahnya.
“Maaf,
Putri. Aku lancang.” ucap Yacht sambil menghapus air matanya, lalu
memeluknya—memberikan kekuatan padanya.
***
“Mau
kemana?” tanyanya ketika terbangun. Yacht mengesampingkan tas rotannya, dan berjalan ke belakang mengambil pedang.
“Aku mau
pergi ke pasar, Putri. Tidak mungkin aku tidak membuatkanmu makanan.” ucapnya
masih mengambil barang-barang yang perlu dibawanya.
“Aku ikut.” Yacht menatapnya sesaat dengan
skeptis.
“Aku takut
Putri tertangkap oleh suruhan Donskoi.” larangnya.
“Aku pinjam bajumu untuk menyamar. Aku juga
ingin ke istana, memastikan keadaan keluargaku.” ucapnya bersikeras. Yacht
menghela napas, lalu masuk ke dalam mengambil beberapa pakaian. Ia mengenakan baju kaus abu-abu yang lusuh, dan
celana selutut warna hitam.
“Pakai
ini, Putri.” suruhnya sambil memberikan
topi berwarna hitam. Yacht melihat penampilannya yang terlihat
janggal—kemungkinan ditangkap suruhan Donskoi masih besar.
“Apa
ada yang salah?” tanyanya gugup diperhatikan.
“Maaf,
Putri.” ucap Yacht takut.
“Ya?”
“Bolehkah?” tanyanya memberi isyarat pada
rambut Natalya. Ia hanya mengangguk memberi izin. Yacht maju beberapa langkah
ke belakang Natalya. Ia melepas topi hitam itu, dan meraih rambut pirang
Natalya yang panjang. Ia mengikat rambut Natalya dengan lembut, dan
menyembunyikannya di balik topi. Sesaat ia terpaku akan perlakuan, dan
perhatian yang lembut dari Yacht.
“Sudah
Putri. Kita pergi sekarang jika tidak ingin kembali terlalu larut.” ajak Yacht
membuyarkan lamunannya.
“Tetap
berada di belakangku, Putri. Jika takut, pegang tanganku.” Ia mengangguk, dan
kembali menyusuri hutan belantara bersama Yacht—seseorang yang tiba-tiba ingin
direngkuhnya.
***
Natalya
mengikuti setiap langkah Yacht mengitari pasar di dekat istana yang sesak. Ia
mengedarkan pandangan ke semua penjuru, hanya untuk memastikan laki-laki berjubah hitam suruhan Donskoi
tidak berada di sini. Namun, kerongkongannya tiba-tiba tercekat ketika melihat
laki-laki berjubah hitam berjalan mendekatinya. Spontan ia mengenggam tangan
Yacht.
“Tenanglah.” ucapnya sambil tersenyum, dan
melambai pada laki-laki berjubah hitam yang ingin menemuinya. Ia dengan segera
menurunkan topinya agar wajahnya tidak terlihat oleh suruhan Donskoi
“Apa
kabar?” tanya Boris—salah satu suruhan Donskoi. Yacht hanya tertawa ringan, dan
berusaha bersikap sebiasa mungkin.
“Siapa?”
tanyanya lagi.
“Aku
menemukan gadis ini di tengah pasar. Ia buta.” jelasnya.
“Apa
kau sudah tahu berita kaburnya Putri?” tanyanya
lagi. Yacht menggeleng, dan berusaha menekan pertanyaan Boris.
“Aku
harus pergi ke istana sekarang. Donskoi sudah menungguku.” ucapnya mengakhiri
pembicaraan, dan berlalu meninggalkan laki-laki berjubah hitam.
“Makasih.”
ucapnya sambil melepas pegangan tangan. Yacht hanya tersenyum, dan melanjutkan
perjalanan menuju istana.
“Apa
Putri yakin mau masuk?” tanya Yacht cemas. Ia mengangguk yakin, dan menyuruh
Yacht untuk menunggu di luar. Seketika
Yacht menggeleng tidak terima.
“Aku
ikut. Setidaknya aku berjalan di belakangmu, Putri. Izinkan aku.” pintanya.
Natalya
dan Yacht mengendap-endap memasuki istana. Ia memasuki sebuah ruangan, lalu menguncinya.
“Kenapa
ke sini?” tanya Yacht heran. Natalya memberi isyarat agar ia diam tanpa
bertanya. Ia sudah hidup bertahun-tahun di istana, tentu ia tahu
labirin-labirin yang sengaja dibuat oleh para leluhurnya. Ia menyingkap karpet
merah di lantai, dan menemukan pintu bawah tanah berlapis baja. Ia menggeser
lempengan baja itu, dan menyuruh Yacht
untuk turun duluan.
“Ini tembus kemana?” tanya Yacht yang tetap
berjalan di belakangnya.
“Kamar
Bibi Olga, aku butuh bicara dengannya sekarang.”
Natalya
mengetuk-ngetuk setiap dinding yang ada di atasnya. Tiba-tiba ia mendengar
langkah kaki seseorang di sekitar dinding tersebut. Ia mengetuk dinding itu
sekali lagi.
“Grand Duchess Natalya? Apa itu kau?”
tanya suara yang sangat ia kenal.
“Jika
itu benar kau, ketuk dinding itu tiga kali.” ucapnya lagi. Ia mengetuk dinding
seperti yang diperintahkan bibinya. Sesaat setelah itu, dinding yang diketuknya
berubah menjadi sebuah lubang. Ia bisa melihat bibinya menangis dari bawah,
sambil mengulurkan tangan untuk membantunya naik ke atas. Ia memeluk Natalya,
dan mencium kening keponakannya.
“Dengan
siapa?” tanyanya penasaran. Yacht muncul dari bawah, dan membuat senyum Bibi
Olga terkembang.
”
Yacht?” Yacht menerima pelukan dari Bibi Olga. Ia merasa bersyukur Natalya
bertemu dengan Yacht. Setidaknya ia lebih merasa aman karena Natalya dilindungi
oleh laki-laki itu.
“Yacht
tangan kananku, Grand Duchess.” ucapnya
yang mengerti akan kebingungan Natalya. Senyum hangat yang ia berikan ketika
Yacht muncul seketika memudar. Ia memeluk Natalya—lagi.
“Ia
terlalu kejam. Ia membunuh ibumu kemarin.” ucapnya mempererat pelukan pada
Natalya.
“Ia
meracuni minuman ibumu dengan senyawa sulfat.” tambahnya. Pelukan Natalya
melonggar seketika. Tubuhnya lemah, dan terjatuh ke lantai. Yacht dengan segera
meraih tubuhnya, dan memeganginya dari belakang.
“Ibuuuu...”
lirihnya sambil menangis tak kuasa menahan sakit di dadanya.
“Haruskah berakhir seperti ini keluargaku,
Bi?” Ia menengadah menatap bibinya yang lebih terlihat rapuh.
***
Yacht
menggendongnya keluar istana, sampai menyusuri hutan. Ia tetap menggendong
gadis yang terlihat sangat hancur di matanya.
“Apa
kau capek menggendongku?” tanyanya lemah. Yacht menggeleng, dan mempercepat
langkahnya menuju gubuk tua.
“Apapun
akan kulakukan, Putri. Akan kulakukan untukmu. Aku ingin mendampingimu, Putri.”
Yacht
menurunkannya ketika tiba di depan gubuk. Ia menyuruh Natalya untuk masuk, dan
istirahat.
“Bisakah
kau juga masuk. Aku takut.” lirihnya. Ia menuruti perintah Natalya, dan meminta
maaf atas kelancangannya mengenggam tangan Natalya—lagi.
“Grand
Duchess Natalya keluar!! Aku tau kau ada di dalam.” teriak seseorang di
luar gubuk. Ia terbangun ketika Yacht menepuk-nepuk punggungnya. Ia hendak
berdiri, namun dicegah oleh Yacht.
“Biar
aku yang keluar, Putri.” ucapnya. Ia mengintip dari lubang pintu yang sengaja
dibuatnya.
“Donskoi
dan suruhannya.”
Ia tersandar
ke dinding, dan dengan sigap mengambil pedangnya. Ia berlutut di hadapan
Natalya.
“Maafkan
aku, Putri. Aku tidak bisa melindungimu.”
Ia menggeleng tidak setuju akan pernyataan Yacht.
Intuisinya mengatakan bahwa ia harus melakukan itu. Ia memeluk Yacht—berharap
akan ada kekuatan untuknya dari laki-laki itu.
“Aku ikut.”
Yacht
keluar bersama Natalya yang siap dengan pedangnya. Yacht mengenggam
tangannya—alih-alih takut kehilangan gadis itu.
“Kau?”
ucap Donskoi memandangnya jijik.
“Dasar
bodoh! Kau lebih memilih berada di samping Grand
Duchess yang tolol ini, dibanding bersamaku? Hahaha.” ucapnya masih
berargumen. Ia berjalan mendekati Natalya, tetapi Yacht menghadapkan pedangnya
di depan Donskoi.
“Jangan
pernah sentuh dia.” ucapnya lantang hingga membuat semua suruhan Donskoi
tertawa.
” Kau
ingin melindungi gadis tak berkeluarga ini?” ucapnya dengan memiringkan wajah
kepada Natalya. Natalya membulatkan matanya, menahan amarah pada Donskoi.
“Aku
bukan orang yang bodoh! Aku telah menghabisi ayahmu,ibumu, bahkan bibimu yang
kurang kerjaan menjagamu. Sekarang, tinggal kau! Aku butuh apa yang ada di
lehermu, Natalya.” jelasnya penuh ambisi yang menggebu-gebu.
Donskoi mengeluarkan pedangnya, dan menyerang Yacht.
Natalya juga ikut menghabisi satu persatu anak buah Donskoi dengan pedangnya.
Kesadisan Donskoi, membuatnya mampu membunuh lebih gampang. Namun,
perjuangannya terhenti ketika pedang Boris tepat mengenai hulu hatinya. Darah
segarpun keluar dari mulutnya. Ia tersungkur ke tanah, dan terkulai lemah tak
berdaya.
“Putri!!!!”
teriak Yacht yang sayup-sayup terdengar olehnya. Ia berlari menggapai tubuh
Natalya yang berlumuran darah.
“Yacht..
tolong aku.” pintanya menahan sakit. Tangannya terkepal penuh amarah yang
membabi buta. Ia mengambil pedang yang terjatuh di tanah, lalu menatap satu
persatu suruhan Donskoi, dan tuannya sendiri. Ia menyerang tanpa ampun
menghabisi semuanya. Ia memenggal, bahkan menghunuskan pedangnya pada anak buah
Donskoi.
“Hahaha.
Apa ini karena kau mengabdi padanya, atau karena cinta?” olok Donskoi. Tanpa
pikir panjang Yacht menerjangnya, dan tepat menghunuskan pedang mengenai jantungnya.
“Aku
mencintainya.”
Ia
berlari ke tempat Natalya yang sekarat. Darah di tubuhnya tak kunjung berhenti.
Yacht tidak tahu harus berbuat apa. Ia meraih tubuh lemah Natalya, dan
memeluknya penuh kepedihan.
“Maaf. Maaf aku tidak bisa melindungimu.” ucapnya
menangis.
“Maaf
Natalya.”
Natalya
menengadah, menatap matanya yang basah, lalu mengusap pipi laki-laki tersebut.
Ia mengeluarkan bandul merah yang diincar oleh Donskoi. Ia melepas bandul
tersebut dari lehernya, dan mengalungkannya
pada Yacht.
“Aku
titip harapanku, dan harapan keluargaku padamu, Yacht. Kau satu-satunya orang
yang ingin kurengkuh untuk bersamaku. Namun takdir tak mengizinkannya. Terimakasih.
Aku mencintaimu.” Matanya perlahan menutup, dan hanya menyisakan luka yang
dalam untuk Yacht serta keluarga Zakharin.
***
theend