Ia
menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Padahal, arlojinya baru menunjukkan
pukul lima sore. Ia melirik kembali arlojinya sambil sesekali mendesah pelan.
Semua yang ia rencanakan keluar dari jalurnya. Namanya Bulan—salah satu
mahasiswi Universitas Negeri
St.Petersburg yang sangat megah di Rusia. Kira-kira sudah empat tahun ia
menetap di negeri sejuta budaya itu, untuk melanjutkan studi pascasarjana jurusan
sastra Rusia. Ia keluar dari gedung kampus yang penuh arsitektur peninggalan
negeri Uni Soviet, sambil kembali melirik arlojinya. “Bagaimana ini?” desahnya
putus asa.
Ia
turun dari bus yang dinaikinya dari kampus St.Petersburg. Ia melihat dari
kejauhan kafe yang berada hanya dua meter dari penglihatannya dengan cemas. Ia
merapatkan syal rajutan abu-abu, dan berjalan masuk menuju Vida de Cafe—tempat
ia berkerja part time. Seorang kasir
yang menatapnya iba, langsung memberi isyarat agar ia segera menemui pemilik
kafe. “Apa aku akan dipecat?” tanyanya pada Nikolai—pria yang duduk di bangku
kasir. Nikolai hanya tersenyum miris sambil mengangkat bahu.
“Tiga
jam? Ini sungguh keterlaluan, Bulan.” ucap Tatyana—wanita seperempat abad yang
memiliki tubuh kurus dengan rambut pirang yang memesona. Bulan hanya menunduk
merasa bersalah. Hari ini ia menemui dosen untuk mengurus tesis, yang ternyata
memakan waktu dua belas jam lebih.
“Maaf.”
itulah kata yang keluar dari mulutnya. Ia melihat mata azure Tatyana dengan harapan ia tidak dipecat hari ini.
Bagaimanapun, pekerjaan ini sangat membantu keuangannya selama di Rusia. Jika
ia dipecat, mencari perkerjaan di negeri orang tidak semudah membalikkan
telapak tangan.
“Kali
ini aku maafkan, kembalilah berkerja.” ucapnya sambil merapatkan blazer hijau
muda miliknya. Bulan mengucapkan terima kasih, dan melangkah meninggalkan ruang
pribadi pemilik kafe. “Huft..” itulah desah napas lega yang keluar, ketika ia
memasuki ruang ganti khusus pegawai. “Sepertinya, Mrs. Tatyana sedang berbaik
hati.” ucap Boris—chef kafe yang telah berdiri di belakangnya. Bulan
hanya tersenyum manis, dan melangkah keluar untuk melayani pelanggan sambil
berbisik kepada Boris. “Mungkin.”
***
“Spakinoi nochi—Selamat malam, Tuan. “
ucap Bulan ramah sambil menawarkan sederet menu di tempat ia berkerja. Laki-laki
yang kira-kira tiga, atau empat tahun lebih tua darinya itu mengambil daftar
menu dengan enggan. Bulan masih setia menunggu pesanan sambil memperhatikan laki-laki
Rusia dengan mata biru yang memesona.
“Éclair.”
ucapnya singkat. Bulan kebingungan, lalu mengambil daftar menu yang ia berikan
pada laki-laki berjas hitam itu. Dahinya mengernyit, karena tidak ada nama
makanan Éclair yang diucapkan oleh laki-laki tersebut.
“Maaf,
Tuan. Kami tidak menyediakan makanan yang tuan sebutkan tadi. Mungkin Tuan bisa
memesan makanan lain.” ucapnya masih terdengar ramah.
“Aku
hanya ingin itu.” ucapnya lagi. Ia mendesah penuh kebingungan sambil menatap
Nikolai yang menunjukkan eskpresi ‘
jangan tanya padaku’. Ia tetap berdiri di samping laki-laki itu, berharap
ia akan berubah pikiran.
“Bawakan
aku minuman alkohol.” ucapnya terdengar lelah, frustasi, dan tanpa tujuan.
Bulan menatap laki-kai itu iba, dan berjalan menjauh untuk mengambil
pesanannya.
***
Ia
mengambil mantel, dan syal abu-abu rajutan yang ia kenakan saat tiba di kafe
tadi. Ia melirik arlojinya yang menunjukkan pukul sembilan malam. “Sepertinya
aku harus segera pulang.” Ia membatin lelah. Ia keluar dari ruang ganti, dan
menyapa Nikolai yang masih sibuk membereskan meja kasir. “Mau aku antar
pulang?” ucapnya menawarkan. Ia bimbang,
sambil berpikir untung dan ruginya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru
kafe namun, matanya terhenti ketika melihat laki-laki berjas hitam tadi telah
ambruk di kursinya. Nikolai yang menyadari kebingungan Bulan segera menyikut
lengannya. “Bagaimana?” Bulan menatap Nikolai, dan menginstruksikan untuk
menunggunya sebentar.
“Tuan,
apa anda baik-baik saja? Masih bisa berdiri? Kafe kami sudah tutup Tuan. Jika Tuan
bisa berdiri, saya mohon Tuan bisa meninggalkan kafe ini.” ucap Bulan memohon
sambil menepuk-nepuk punggung laki-laki itu.
“Aku
ingin Éclair.” ucapnya setengah sadar. Bulan melirik Nikolai ragu, lalu meraih
tangan laki-laki itu, dan memapahnya keluar kafe. Ia bingung karena tidak tahu
harus membawanya kemana. Laki-laki itu mengangkat kepalanya, dan mengedarkan
pandangan ke parkiran. Ia menunjuk mobil marcedes hitam, dan menyuruhnya untuk
membawa tubuhnya ke sana. Ia memberikan kunci mobil dengan terbatuk-batuk
pelan. Setelah berhasil membawanya ke dalam mobil, Bulan berlari-lari kecil
menemui Nikolai. “Aku akan mengantarnya pulang.”
***
Bulan
menghentikkan mobil laki-laki itu, di toko kue 24jam yang terletak 3 km dari
tempat ia berkerja. Ia keluar dari mobil sambil berlari kecil menuju toko kue.
Ia mengedarkan pandangan takjub oleh lukisan dinding yang tampak klasik ketika
memasuki toko kue. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?” ucap wanita Rusia itu
lembut. Ia berpikir sejenak sambil
melihat daftar kue yang tertera di depan matanya. “Aku—“ ucapannya terhenti
ketika pegawai lain berteriak memangil tuan.
Bulan membalik badan, dan melihat laki-laki tadi terhuyung-huyung memasuki toko
kue. Ia membantunya untuk duduk, dan kembali memesan kue. “Nona kenal
dengannya?” Bulan segera menggeleng—ingin meminta penjelasan atas pertanyaan
wanita itu. “Ia pemilik toko kue ini, Nona.” Ia terperangah, dan menatap wanita
tersebut penuh terima kasih. “Ia mabuk di tempatku berkerja. Aku tidak tega
meninggalkannya sendiri. Ia meminta Éclair terus-terusan padaku, jadi aku
memutuskan untuk membawanya ke sini.” ucapnya panjang lebar. “Aku akan membawakan
Éclair padanya, Nona.”
Bulan
berjalan mendekatinya yang mulai sadar. Ia berpikir sejenak, dan memutuskan
untuk pergi meninggalkannya yang sibuk membersihkan sepatu. “Maaf Tuan, aku
harus pergi.” ucapnya pelan, dan menunduk pamit. Namun ketika ia mulai
melangkah, laki-laki itu mencegat tangannya. Ia tersentak—sentuhan itu. Selama
bertahun-tahun di Rusia, ia tidak pernah disentuh oleh laki-laki dengan cara
seperti ini. Ia tidak pernah bergaul dengan laki-laki—dengan komitmen pacaran.
Ia ingin fokus pada studinya. Namun malam ini ia merasa ada sesuatu yang
berbeda, sesuatu yang membuatnya berpikir. “Apa ini sesuatu yang berarti?” Ia
membatin.“Duduk di sini! Temani aku!” ucapnya lembut sambil mencicipi Éclair
yang telah terhidang di meja.
***
“Turun!”
perintahnya saat menghentikan mobil di dekat Sungai Neva. Tanpa pikir panjang,
Bulan pun keluar dari mobil sambil menggigit bibir. Ia menatap arlojinya dengan
nanar. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu. Ia mengedarkan pandangan ke
sekitarnya yang gelap, dan diterangi oleh lampu penerang jalan. Ia berjalan
entah kemana, karena jarak Sungai Neva ke apartemennya kira-kira 15 km. “ Mau
kemana?” tanya suara yang akhirnya menghentikan langkah Bulan. Ia menatap laki-laki
itu sekilas dengan bingung. “Duduk di sini.” perintahnya lagi, dan mengisyaratkan untuk duduk di atas batu
sekitar Sungai Neva. “Temani aku.” Bulan ingin mengindahkan perintahnya, dan
segera kembali ke apartemennya, tetapi ia tidak tahu cara pulang ke sana. Bulan
duduk di sampingnya, sambil merapatkan syalnya yang mulai melonggar. Walaupun
di Rusia sedang musim semi, udara di sini masih terasa dingin.
“Aku
Aleksey—Alex.” ucapnya memperkenalkan diri tanpa melihat Bulan. Ia menatap Alex
penuh tanda tanya. Alex terlihat lelah, frustasi, dan tentunya tidak terlalu
ingin hidup. “ Bulan.” ucapnya santai. Nama ‘Bulan’ yang ia sebutkan tadi
sontak membuat Alex bingung hingga menatapnya lama. “Bukan orang Rusia?” tanyanya
penasaran. Bulan menggeleng. Ia
mengalihkan pandangan pada keindahan Sungai Neva di malam hari. “Aku
mahasiswa pascasarjana di sini.” ucapnya untuk mengurangi kebingungan Alex.
Bulan
menatap arlojinya kembali dengan miris. Ia hanya ingin pulang, tidur, dan
bersiap menemui dosennya kembali. “Ada jadwal kuliah besok?” Bulan mengangguk, tidak
berani menatap matanya. “Jam berapa?” ucapnya lagi seolah tengah menginterogasi.
“Jam 9, tetapi aku berangkat jam 7 karena jarak apartemenku ke kampus cukup
jauh.” Alex tersenyum. Ia baru menyadari bahwa laki-laki itu memiliki lesung
pipi yang sangat menawan. “Aku antar kamu pulang.” Ia mengulurkan tangan untuk
membantu Bulan berdiri, dan mengenggam tangannya hingga masuk ke mobil.
Sentuhan itu—hangat.
***
“Nggak mau aku antar sampai depan apartemenmu?” ucapnya
ketika berhasil mengantarkan Bulan ke apartemennya. Ia menggeleng sambil
melepas seatbelt. Ia keluar mobil sambil
merapatkan syalnya. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat tiga laki-laki
yang tengah mabuk berjalan mendekatinya. Ia mundur karena ketakutan. Tiba-tiba
saja seseorang menggenggam tangannya. Bulan berusaha melepas genggaman
tersebut, dan sadar ketika ia melirik ke samping genggaman itu—pertolongan
untuknya. “Biar aku antar.” ucap Alex sambil melewati ketiga pemabuk yang
tampak murung karena gagal menggoda Bulan. Alex menggengam tangan Bulan dengan
erat, bahkan ia bisa merasa jemari laki-laki itu begitu kokoh.
“Ini
apartemenku.” Alex melepas genggamannya, dan tersenyum penuh arti. “ Masuklah.”
suruhnya sambil memasukkan tanggannya ke dalam mantel. “Pergilah dulu, baru aku
masuk.” ucap Bulan terdengar konyol. Ia mencodongkan tubuhnya mendekati Bulan.
“ Aku
hanya ingin memastikan kamu masuk dengan selamat.” Bulan menyerah.
“
Baiklah. Makasih. Hati-hati di jalan.” ucapnya terakhir kali sebelum menutup
pintu apartemen. Ia mendengar langkah kaki Alex semakin menjauh, hingga tidak
ada satupun langkah kaki yang terdengar. Ia menutup matanya. Ini lebih dari
sekedar berarti—sentuhan itu.
***
Bulan
menatap dirinya nanar, karena ia terlambat bangun dari jam yang direncanakan.
Jam dinding telah menunjukkan pukul 7:30, yang tentunya akan banyak kemungkinan
ia terlambat. Ditambah, ia harus menunggu bus ke Universitas St.Petersburg yang
memakan waktu kurang lebih 2 jam. Ia keluar apartemen dengan tergesa-gesa
sambil, mengenakan mantel abu-abu miliknya.
Ia memasuki lift, dan menyadari ia tidak mengenakan syal, dan kaus kaki. Bahkan
ia mengenakan sepatu yang terbuka. Bukan bot atau sejenisnya. Ia menyesali
tindakannya karena udara sangat dingin. Ia berpikir sejenak untuk kembali.
Namun, ia terus melangkah keluar karena tidak ingin terlambat lebih banyak.
Ia
berjalan keluar lift dengan tergesa-gesa.
Sesaat langkahnya terhenti ketika melihat tubuh dalam balutan mantel
abu-abu yang sewarna dengannya. Ia berusaha bersikap tak acuh, dan kembali
berjalan keluar lobi apartemen. “Bulan.” teriaknya. Spontan Bulan melihat ke
arah sumber suara. Ia menatap Alex berlari-lari kecil menuju tempat ia berdiri.
Ia menatap Bulan skeptis. “Apa kamu yakin pergi kuliah seperti ini?” Bulan
hanya mengangkat bahu pasrah. Alex pun tertawa. “ Aku baru sadar warna mantel
kita sama.” Bulan menghela napas, ia tidak ingin berlama-lama. Alex melepaskan
syal coklat yang ia kenakan. Lalu melingkarkannya ke leher Bulan yang putih
bersih. Bulan terpaku sesaat. “Aku antar. Ini juga sebagian kesalahanku atas
keterlambatanmu.” ucapnya mengenggam tangan Bulan—lagi.
***
“Pulang
jam berapa nanti?” tanya Alex ketika tiba di depan kampus. Ia melirik Alex
sejenak, sambil melepas seatbelt.
“Hm, nggak usah ditungguin. Aku lama, mungkin sampe sore.” ucapnya sambil
tersenyum. Ia melirik arlojinya penuh syukur, karena masih serempat jam lagi
untuk menemui dosennya. “Hm, masuklah.” ucapnya setelah lama terdiam bisu.
“Baiklah, makasih sebelumnya.” Ia membuka kenop pintu sambil melambai pada Alex
yang menatap lurus jalanan. Bulan hanya mengangkat bahu sambil melangkah ke
dalam gedung kampus. “Apa ada yang salah dengan ucapanku?” batinnya, dan
tersenyum menenggelamkan wajahnya pada syal coklat yang melingkar di lehernya.
***
Ia
menyeret kakinya lunglai, sambil sesekali mengumpat karena lift di apartemennya
sedang rusak. Ia harus menaiki 10 lantai jika ingin sampai di apartemennya. Ia
melepas high heels beludru abu-abunya, dan menjinjingnya karena tidak tahan
akan sakit di kakinya. Kira-kira setengah jam berlalu, dengan susah payah
menaiki tangga ia sampai di apartemennya. Namun belum sempat ia membuka pintu
apartemen, seorang laki-laki bermantel abu-abu sedang duduk menekur di depan pintu
apartemennya. Bulan sudah yakin kalau laki-laki itu adalah Alex. Alex menengadah
ketika menyadari seseorang berada di depannya. Ia tersenyum ketika melihat
Bulan menjinjing sepatunya. “Masih kuat jalan?” katanya sambil mengulurkan
tangan meminta tolong untuk berdiri. Bulan menyambut uluran tangan tersebut,
dan membantunya berdiri. Bulan mengatur napasnya sejenak, ia terlihat gugup di
depan laki-laki yang sekarang berada beberapa senti dari wajahnya. “Sekarang
kerja?” tanyanya memecah keheningan. Bulan menggeleng sambil membuka pintu
apartemen. Selama empat tahun, belum pernah ada laki-laki yang masuk ke
apartemennya. Namun entah mengapa, ia yakin pada Alex. “Masuklah.” ucapnya.
Alex
duduk di sofa soft pink miliknya. Ia
melirik dekorasi apartemen milik Bulan yang sangat minimalis. Sementara itu,
Bulan mengambil minuman untuk berbasa-basi dengannya. “Mau pergi jalan-jalan
keluar hari ini?” tanyanya sumringah ketika Bulan meletakkan sirup melon di
meja. Bulan menatap Alex ragu, sambil melirik kakinya yang serasa akan remuk.
Ia menghela napas, dan duduk di samping Alex. “ Aku capek hari ini, mungkin
lain kali.” ucap Bulan menolak dengan halus. Alex tersenyum menatap Bulan, dan
bergeser duduk beberap senti darinya. Ia menepuk-nepuk pahanya, mengisyaratkan
agar Bulan meletakkan kaki di pahanya. Bulan terlihat ragu, namun akhirnya meletakkan
kakinya seperti yang Alex pinta. “Aku ingin jalan sehari ini denganmu, Bulan.
Aku tidak tahu, entah besok, lusa, atau kapan sepertinya aku akan sibuk lagi.”
ucapnya sambil memijit kaki Bulan karena kelelahan berjalan. Bulan menatapnya
tak tega. Mata biru milik laki-laki Rusia itu, mampu menghipnotis perasaannya.
“Baiklah, kita jalan.”
***
Alex
memarkirkan mobilnya tepat di depan Istana
Musim Dingin—salah satu icon
kunjungan turis ke St. Petersburg. Senyum bulan terkembang, karena inilah
tempat yang ingin ia kunjungi. Istana Musim Dingin terletak di tepi Sungai
Neva. Walaupun ia sering melewati jalur ini, tetapi tidak pernah ada waktu
untuk masuk ke Istana Musim Dingin—yang sekarang menjadi museum ternama. “Belum
pernah ke sini?” tanya Alex saat menyadari antusias Bulan. Ia hanya menggeleng,
dan dengan semangat melepas seatbeltnya.
Alex
merapatkan syalnya yang mulai melonggar akibat terpaan angin. Ia berjalan ke
arah Bulan, dan meraih tangannya. “Ayuuk, masuk.” ucapnya sambil tersenyum.
Senyuman yang tentunya memiliki makna yang berbeda untuk ditebak. Bulan hanya mengikuti setiap
langkah Alex, dan membiarkan tangannya hangat oleh genggaman laki-laki itu.
“Apa ini kencan?” tanya Bulan tiba-tiba yang tidak menyadari kekonyolannya.
Alex seketika berhenti sebelum memasuki Istana Musim Dingin. Ia menatap Bulan
lekat-lekat, dan melempar senyum yang menawan. “Anggap saja iya. Sehari ini
anggap kita kencan.” jawabnya sungguh, dan melanjutkan langkah yang tadinya
terhenti.
“Aku capek. Ingin duduk.” pinta Bulan setelah
satu jam lebih mengitari Istana Musim Dingin yang tak tertandingi kemegahannya.
Arsitekturnya, kekokohan bangunannya, dan semua yang ada di Istana Musim Dingin
terlihat sangat sempurna. “Yaudah, duduk di sini dulu.” Alex menyuruh Bulan
duduk di salah satu bangku. Bulan mendesah karena kecapean, dan memijit-mijit
betisnya yang sakit. “Sakit lagi?” tanya Alex. “Sedi—“ ucapannya terhenti,
ketika ponsel Alex dengan nada dering White
Lion—you’re all that i need berbunyi
nyaring. Alex segera berdiri, bibirnya terangkat, dan tersenyum. Ia pergi
menjauh dari Bulan untuk menerima panggilan tersebut. Bulan menatapnya sesaat,
dan melihat ekspresi Alex yang berubah—seakan menerima hidup kembali. “Bulan,
maafkan aku. Aku ada urusan mendadak. Kamu bisa pulang sendiri kan? Ini penting
sekali, Bulan. Maafkan aku.” Bulan hanya mengangguk, tersenyum, dan membiarkan
punggung itu pergi—yang ia ragu akan kembali.
***
Tepat
sudah lima bulan ia kembali pada kehidupan normalnya. Sendiri, dengan
dikelilingi studi, dan pekerjaannya. Tanpa genggaman, tanpa perhatian, dan
tentunya tanpa sosok Alex yang menghilang entah kemana. Semenjak Alex
meninggalkannya di Istana Musim Dingin, tidak ada lagi cerita tentangnya.
Semuanya lenyap—penuh pengharapan mati. “Mungkin memang sehari.” Ia membatin.
“Bulan,
apa kamu sedang ada masalah? Aku heran melihatmu sekarang.” tanya Nikolai saat
istirahat makan. Bulan hanya menggeleng, dan melanjutkan memakan hot dognya. “Tetapi,
kamu terlihat lebih pendiam, murung, dan aneh. Sesekali aku melihatmu menangis
entah kenapa. Apa karena laki-laki itu?” tanyanya lagi yang nyaris membuat
Bulan tersedak oleh makanannya. “Kamu melihatku?” ucapnya melebarkan mata. Ia
menggigit bibir, bahkan ia merasa sangat bodoh. Ia menghela napas, dan meneguk
habis jus jeruknya. “Aku tidak ingin membicarakan tenta—“ Nikolai merangkulnya
hangat—rangkulan itu berbeda dengan rangkulan Alex. “Bulan, aku mengenalmu tiga
tahun. Aku sudah menganggapmu adikku. Bagaimana aku tidak tahu masalahmu?”
Bulan meliriknya sejenak, ucapannya benar. “Kamu jatuh cinta, Bulan.”
***
“Selamat
malam, Nona. Ada yang bisa saya bantu?” ucap Bulan ramah pada wanita yang
terlihat seperti bidadari jatuh dari kayangan. Ia memberi daftar menu pada si
wanita yang memiliki mata azure—seperti
Tatyana. Ia mengedarkan ke segala arah sambil menunggu pesanan si wanita. “Aku
menunggu kekasihku dulu, baru memesan.” Bulan mengangguk, dan melangkah ke meja
kasir menemui Nikolai. Namun belum sempat ia tiba di tempat Nikolai, seseorang
menyenggolnya hingga terjatuh. “Maaf, aku tida—Bulan?” ucapnya kaget. Laki-laki
itu membantunya berdiri, dan betapa kagetnya Bulan ketika merasakan sentuhan,
dan matanya. “Ia kembali.”
“Bulan,
kenalkan ini Elena.” Bulan menjabat tangan Elena dengan senyum getir. Elena
adalah wanita yang ia asumsikan mirip dengan mata Tatyana. Bulan mencoba untuk
tersenyum, walaupun sangat sakit rasanya. “Aku ke belakang dulu, permisi.” ucapnya
mohon diri tanpa melihat Alex. Ia menunduk menuju dapur. “Bisakah kamu
menggantikan aku sebentar, Anna? Aku tidak enak badan.” pinta Bulan pada
pegawai lain. Bulan menatap langit-langit dapur yang identik dengan bau steak sambil menahan air matanya.
Ia
terduduk lemas—menangis lagi untuk kesekian kali di tahun ini. Tiba-tiba saja
Nikolai telah berdiri di balik pintu, dan menatap Bulan prihatin. Ia berjalan
mendekati Bulan, menatap wajahnya, menghapus air matanya, dan memeluknya.
“Menangislah, aku di sini. Tidak akan ada yang tahu.” ucap Nikolai mempererat
pelukannya. Bulan yang ketika itu butuh sandaran, hanya bisa menangis dalam
pelukan Nikolai. “Aku mencintainya.” ucapnya pada Nikolai masih menangis.
***
“Kamu
yakin tidak aku antar?” tanya Nikolai terdengar khawatir. Bulan menggeleng, dan
menyandang tas sambil melangkah keluar cafe. Ia berjalan menunduk melewati satu
persatu petak trotoar. Ia linglung tidak tahu harus bagaimana. Angin malam pun
semakin kencang merasuki sendi-sendi tubuhnya. “Bisakah kita bicara sebentar, Bulan?”
Bulan kaget, dan langsung membalik badan. Ia tahu, bahwa suara itu milik Alex.
Ia menatap Alex nanar seperti hendak menangis, tetapi ia mencoba kuat. “Tentang
apa?” tanyanya mulai dingin. “Kita.” Alex mendekati Bulan dengan menjajari langkahnya. Ia meraih tangan Bulan,
tetapi segera ditepis Bulan. “Langsung saja.” Alex menatap mata Bulan dalam. Ia
tahu kepedihan gadis itu.
“Maafkan
aku. Maaf atas menghilangnya aku lima bulan terakhir. Aku akan ceritakan
semuanya.” Bulan mencoba tidak peduli atas cerita Alex, dan hanya mengangkat
bahu. Ia tahu, cerita itu pasti menambah luka hatinya.
“Satu
tahun yang lalu, Elena memutuskanku, dan bertunangan dengan orang yang
dijodohkan orangtuanya di Paris. Saat itu, aku memang butuh sandaran. Entah
mengapa aku malah berjumpa denganmu. Aku menghabisi banyak waktu denganmu, dan
perlahan lukaku terobati. Bulan, ketika di Istana Musim Dingin, ia memintaku
untuk menjemputnya di bandara. Pertunangannya batal. Aku tidak berbohong
tentang hal ini, aku mencintaimu, Bulan.” ucapnya getir. “Tidak untuk
sekarang.” balas Bulan cepat sebelum melayang terlalu jauh. “ Bulan, aku—.”
“Kembalilah. Aku tidak ingin memperpanjang masalah. Hubungan kita bukan apa-apa
hanya.. ya seperti yang kamu katakan. Kencan sehari. Yap, cukup sehari, dan
setelah itu kita kembali normal. Tenang saja, semuanya sudah usai. Aku tau,
Alex. Kamu ragu dengan perasaanmu ketika bertemuku lagi kan? Haha. Aku tidak
akan muncul di depanmu lagi. Bahkan tidak di negara ini lagi.” ucap Bulan penuh
keyakinan. Ia percaya waktulah yang akan membuatnya normal. “Apa maksudmu, Bulan?”
Alex terkejut mendengar pernyataan Bulan. “Tidak ada yang perlu dijelaskan
lagi.” “Bulan, aku mencintaimu.” ucap Alex, dan menarik Bulan dalam pelukannya.
Bulan merasakan detak jantung laki-laki itu begitu kencang. Bulan bergeming,
tanpa membalas pelukan laki-laki itu. Ia ingin menyudahi semuanya. Bulan
melepaskan pelukan Alex. Ia tersenyum pada Alex sambil melepaskan syal coklat
yang ia kenakan. Ia menyadari bahwa Alex tidak mengenakan syal, ataupun mantel.
Ia melingkarkan syal milik Alex di lehernya. “Do cvidaniya—selamat tinggal.”
***
Bulan
menatap layar ponsel dengan pedih. Wallpaper
ponselnya masih terpasang fotonya bersama Alex saat di Istana Musim Dingin. Ia
meraba-raba wajah Alex, yang beberapa jam lagi akan sepenuhnya menjadi masa
lalunya. Ia menghela napas, dan dengan keyakinan berusaha tidak menginjakkan
kaki di negeri ini, kecuali dengan alasan menemui Nikolai—laki-laki yang ia
nobatkan sebagai kakak angkatnya. “Mrs? Your Handhphone, please?” ucap seorang
pramugari agar ia mematikan ponselnya segera, karena pesawat akan lepas landas.
Ia
mengubah posisi duduknya senyaman mungkin, sambil melirik ke arah jendela.
Pesawat perlahan mulai mengudara, berjalan menjauhi landasan, dan Bandara
Palkovo. “Selamat tinggal masa lalu.” Ia membatin sambil memejamkan matanya
untuk tidur.
Ia
meregangkan seluruh urat-urat syarafnya. Perjalanan dari Rusia ke Indonesia
menyebabkan ia harus duduk berlama-lama. Setelah melalui perjalanan selama 30
jam, dengan melewati transit di Bandara Schiphol, Amsterdam, dan Kualalumpur.
Ia menyeret semua kopernya penuh kelegaan, karena berhasil menginjakkan kaki di
tanah kelahirannya. Ia mengaktifkan ponselnya, dan menghubungi keluarga bahwa
ia telah tiba di Bandara Soekarno-Hatta. “Ibu sudah di tempat penjemputan.”
Bulan berjalan keluar bandara dengan tersenyum lebar ketika melihat ibu, dan
adik laki-lakinya—Gilang memanggil namanya. “Bulaaan....” teriak ibunya sambil
menunjuk-nunjuk ke arah yang ia tidak mengerti. Secara spontan ia membalik
badan, dan nyaris pingsan. Ia melihat Alex tepat di belakangnya sambil
mengangkat papan nama bertuliskan ‘I
wanna see my girl, please. BULAN’. Bulan nyengir melihat tulisan yang
dipegang oleh Alex, dan tetap tidak mengerti apa yang terjadi. Alex berjalan di
samping Bulan dengan senyum yang ia sendiri tidak mampu menahan pesona laki-laki
itu. Alex mengenggam tangganya—hangat—sentuhan yang ia rindukan.
“Ya Iyublyu Tebya—Aku mencintaimu.”
*** the
end