Labels

Jumat, 28 Juni 2013

Cerpen : Love in Vida de Cafe


Ia menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Padahal, arlojinya baru menunjukkan pukul lima sore. Ia melirik kembali arlojinya sambil sesekali mendesah pelan. Semua yang ia rencanakan keluar dari jalurnya. Namanya Bulan—salah satu mahasiswi  Universitas Negeri St.Petersburg yang sangat megah di Rusia. Kira-kira sudah empat tahun ia menetap di negeri sejuta budaya itu,  untuk melanjutkan studi pascasarjana jurusan sastra Rusia. Ia keluar dari gedung kampus yang penuh arsitektur peninggalan negeri Uni Soviet, sambil kembali melirik arlojinya. “Bagaimana ini?” desahnya putus asa.
Ia turun dari bus yang dinaikinya dari kampus St.Petersburg. Ia melihat dari kejauhan kafe yang berada hanya dua meter dari penglihatannya dengan cemas. Ia merapatkan syal rajutan abu-abu, dan berjalan masuk menuju Vida de Cafe—tempat ia berkerja part time. Seorang kasir yang menatapnya iba, langsung memberi isyarat agar ia segera menemui pemilik kafe. “Apa aku akan dipecat?” tanyanya pada Nikolai—pria yang duduk di bangku kasir. Nikolai hanya tersenyum miris sambil mengangkat bahu.
“Tiga jam? Ini sungguh keterlaluan, Bulan.” ucap Tatyana—wanita seperempat abad yang memiliki tubuh kurus dengan rambut pirang yang memesona. Bulan hanya menunduk merasa bersalah. Hari ini ia menemui dosen untuk mengurus tesis, yang ternyata memakan waktu dua belas jam lebih.
“Maaf.” itulah kata yang keluar dari mulutnya. Ia melihat mata azure Tatyana dengan harapan ia tidak dipecat hari ini. Bagaimanapun, pekerjaan ini sangat membantu keuangannya selama di Rusia. Jika ia dipecat, mencari perkerjaan di negeri orang tidak semudah membalikkan telapak tangan.
“Kali ini aku maafkan, kembalilah berkerja.” ucapnya sambil merapatkan blazer hijau muda miliknya. Bulan mengucapkan terima kasih, dan melangkah meninggalkan ruang pribadi pemilik kafe. “Huft..” itulah desah napas lega yang keluar, ketika ia memasuki ruang ganti khusus pegawai. “Sepertinya, Mrs. Tatyana sedang berbaik hati.” ucap Boris—chef  kafe yang telah berdiri di belakangnya. Bulan hanya tersenyum manis, dan melangkah keluar untuk melayani pelanggan sambil berbisik kepada Boris. “Mungkin.”
***
Spakinoi nochi—Selamat malam, Tuan. “ ucap Bulan ramah sambil menawarkan sederet menu di tempat ia berkerja. Laki-laki yang kira-kira tiga, atau empat tahun lebih tua darinya itu mengambil daftar menu dengan enggan. Bulan masih setia menunggu pesanan sambil memperhatikan laki-laki Rusia dengan mata biru yang memesona.
“Éclair.” ucapnya singkat. Bulan kebingungan, lalu mengambil daftar menu yang ia berikan pada laki-laki berjas hitam itu. Dahinya mengernyit, karena tidak ada nama makanan Éclair yang diucapkan oleh laki-laki tersebut.
“Maaf, Tuan. Kami tidak menyediakan makanan yang tuan sebutkan tadi. Mungkin Tuan bisa memesan makanan lain.” ucapnya masih terdengar ramah.
“Aku hanya ingin itu.” ucapnya lagi. Ia mendesah penuh kebingungan sambil menatap Nikolai yang menunjukkan eskpresi ‘ jangan tanya padaku’. Ia tetap berdiri di samping laki-laki itu, berharap ia akan berubah pikiran.
“Bawakan aku minuman alkohol.” ucapnya terdengar lelah, frustasi, dan tanpa tujuan. Bulan menatap laki-kai itu iba, dan berjalan menjauh untuk mengambil pesanannya.
***
Ia mengambil mantel, dan syal abu-abu rajutan yang ia kenakan saat tiba di kafe tadi. Ia melirik arlojinya yang menunjukkan pukul sembilan malam. “Sepertinya aku harus segera pulang.” Ia membatin lelah. Ia keluar dari ruang ganti, dan menyapa Nikolai yang masih sibuk membereskan meja kasir. “Mau aku antar pulang?” ucapnya menawarkan. Ia  bimbang, sambil berpikir untung dan ruginya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kafe namun, matanya terhenti ketika melihat laki-laki berjas hitam tadi telah ambruk di kursinya. Nikolai yang menyadari kebingungan Bulan segera menyikut lengannya. “Bagaimana?” Bulan menatap Nikolai, dan menginstruksikan untuk menunggunya sebentar.
“Tuan, apa anda baik-baik saja? Masih bisa berdiri? Kafe kami sudah tutup Tuan. Jika Tuan bisa berdiri, saya mohon Tuan bisa meninggalkan kafe ini.” ucap Bulan memohon sambil menepuk-nepuk punggung laki-laki itu.
“Aku ingin Éclair.” ucapnya setengah sadar. Bulan melirik Nikolai ragu, lalu meraih tangan laki-laki itu, dan memapahnya keluar kafe. Ia bingung karena tidak tahu harus membawanya kemana. Laki-laki itu mengangkat kepalanya, dan mengedarkan pandangan ke parkiran. Ia menunjuk mobil marcedes hitam, dan menyuruhnya untuk membawa tubuhnya ke sana. Ia memberikan kunci mobil dengan terbatuk-batuk pelan. Setelah berhasil membawanya ke dalam mobil, Bulan berlari-lari kecil menemui Nikolai. “Aku akan mengantarnya pulang.”
***
Bulan menghentikkan mobil laki-laki itu, di toko kue 24jam yang terletak 3 km dari tempat ia berkerja. Ia keluar dari mobil sambil berlari kecil menuju toko kue. Ia mengedarkan pandangan takjub oleh lukisan dinding yang tampak klasik ketika memasuki toko kue. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?” ucap wanita Rusia itu lembut. Ia  berpikir sejenak sambil melihat daftar kue yang tertera di depan matanya. “Aku—“ ucapannya terhenti ketika pegawai lain berteriak memangil tuan. Bulan membalik badan, dan melihat laki-laki tadi terhuyung-huyung memasuki toko kue. Ia membantunya untuk duduk, dan kembali memesan kue. “Nona kenal dengannya?” Bulan segera menggeleng—ingin meminta penjelasan atas pertanyaan wanita itu. “Ia pemilik toko kue ini, Nona.” Ia terperangah, dan menatap wanita tersebut penuh terima kasih. “Ia mabuk di tempatku berkerja. Aku tidak tega meninggalkannya sendiri. Ia meminta Éclair terus-terusan padaku, jadi aku memutuskan untuk membawanya ke sini.” ucapnya panjang lebar. “Aku akan membawakan Éclair padanya, Nona.”
Bulan berjalan mendekatinya yang mulai sadar. Ia berpikir sejenak, dan memutuskan untuk pergi meninggalkannya yang sibuk membersihkan sepatu. “Maaf Tuan, aku harus pergi.” ucapnya pelan, dan menunduk pamit. Namun ketika ia mulai melangkah, laki-laki itu mencegat tangannya. Ia tersentak—sentuhan itu. Selama bertahun-tahun di Rusia, ia tidak pernah disentuh oleh laki-laki dengan cara seperti ini. Ia tidak pernah bergaul dengan laki-laki—dengan komitmen pacaran. Ia ingin fokus pada studinya. Namun malam ini ia merasa ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatnya berpikir. “Apa ini sesuatu yang berarti?” Ia membatin.“Duduk di sini! Temani aku!” ucapnya lembut sambil mencicipi Éclair yang telah terhidang di meja.
***
“Turun!” perintahnya saat menghentikan mobil di dekat Sungai Neva. Tanpa pikir panjang, Bulan pun keluar dari mobil sambil menggigit bibir. Ia menatap arlojinya dengan nanar. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu. Ia mengedarkan pandangan ke sekitarnya yang gelap, dan diterangi oleh lampu penerang jalan. Ia berjalan entah kemana, karena jarak Sungai Neva ke apartemennya kira-kira 15 km. “ Mau kemana?” tanya suara yang akhirnya menghentikan langkah Bulan. Ia menatap laki-laki itu sekilas dengan bingung. “Duduk di sini.” perintahnya lagi, dan  mengisyaratkan untuk duduk di atas batu sekitar Sungai Neva. “Temani aku.” Bulan ingin mengindahkan perintahnya, dan segera kembali ke apartemennya, tetapi ia tidak tahu cara pulang ke sana. Bulan duduk di sampingnya, sambil merapatkan syalnya yang mulai melonggar. Walaupun di Rusia sedang musim semi, udara di sini masih terasa dingin.
“Aku Aleksey—Alex.” ucapnya memperkenalkan diri tanpa melihat Bulan. Ia menatap Alex penuh tanda tanya. Alex terlihat lelah, frustasi, dan tentunya tidak terlalu ingin hidup. “ Bulan.” ucapnya santai. Nama ‘Bulan’ yang ia sebutkan tadi sontak membuat Alex bingung hingga menatapnya lama. “Bukan orang Rusia?” tanyanya penasaran. Bulan menggeleng. Ia  mengalihkan pandangan pada keindahan Sungai Neva di malam hari. “Aku mahasiswa pascasarjana di sini.” ucapnya untuk mengurangi kebingungan Alex.
Bulan menatap arlojinya kembali dengan miris. Ia hanya ingin pulang, tidur, dan bersiap menemui dosennya kembali. “Ada jadwal kuliah besok?” Bulan mengangguk, tidak berani menatap matanya. “Jam berapa?” ucapnya lagi seolah tengah menginterogasi. “Jam 9, tetapi aku berangkat jam 7 karena jarak apartemenku ke kampus cukup jauh.” Alex tersenyum. Ia baru menyadari bahwa laki-laki itu memiliki lesung pipi yang sangat menawan. “Aku antar kamu pulang.” Ia mengulurkan tangan untuk membantu Bulan berdiri, dan mengenggam tangannya hingga masuk ke mobil. Sentuhan itu—hangat.
***
“Nggak  mau aku antar sampai depan apartemenmu?” ucapnya ketika berhasil mengantarkan Bulan ke apartemennya. Ia menggeleng sambil melepas seatbelt. Ia keluar mobil sambil merapatkan syalnya. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat tiga laki-laki yang tengah mabuk berjalan mendekatinya. Ia mundur karena ketakutan. Tiba-tiba saja seseorang menggenggam tangannya. Bulan berusaha melepas genggaman tersebut, dan sadar ketika ia melirik ke samping genggaman itu—pertolongan untuknya. “Biar aku antar.” ucap Alex sambil melewati ketiga pemabuk yang tampak murung karena gagal menggoda Bulan. Alex menggengam tangan Bulan dengan erat, bahkan ia bisa merasa jemari laki-laki itu begitu kokoh.
“Ini apartemenku.” Alex melepas genggamannya, dan tersenyum penuh arti. “ Masuklah.” suruhnya sambil memasukkan tanggannya ke dalam mantel. “Pergilah dulu, baru aku masuk.” ucap Bulan terdengar konyol. Ia mencodongkan tubuhnya mendekati Bulan.
“ Aku hanya ingin memastikan kamu masuk dengan selamat.” Bulan menyerah.
“ Baiklah. Makasih. Hati-hati di jalan.” ucapnya terakhir kali sebelum menutup pintu apartemen. Ia mendengar langkah kaki Alex semakin menjauh, hingga tidak ada satupun langkah kaki yang terdengar. Ia menutup matanya. Ini lebih dari sekedar berarti—sentuhan itu.
***
Bulan menatap dirinya nanar, karena ia terlambat bangun dari jam yang direncanakan. Jam dinding telah menunjukkan pukul 7:30, yang tentunya akan banyak kemungkinan ia terlambat. Ditambah, ia harus menunggu bus ke Universitas St.Petersburg yang memakan waktu kurang lebih 2 jam. Ia keluar apartemen dengan tergesa-gesa sambil, mengenakan  mantel abu-abu miliknya. Ia memasuki lift, dan menyadari ia tidak mengenakan syal, dan kaus kaki. Bahkan ia mengenakan sepatu yang terbuka. Bukan bot atau sejenisnya. Ia menyesali tindakannya karena udara sangat dingin. Ia berpikir sejenak untuk kembali. Namun, ia terus melangkah keluar karena tidak ingin terlambat lebih banyak.
Ia berjalan keluar lift dengan tergesa-gesa.  Sesaat langkahnya terhenti ketika melihat tubuh dalam balutan mantel abu-abu yang sewarna dengannya. Ia berusaha bersikap tak acuh, dan kembali berjalan keluar lobi apartemen. “Bulan.” teriaknya. Spontan Bulan melihat ke arah sumber suara. Ia menatap Alex berlari-lari kecil menuju tempat ia berdiri. Ia menatap Bulan skeptis. “Apa kamu yakin pergi kuliah seperti ini?” Bulan hanya mengangkat bahu pasrah. Alex pun tertawa. “ Aku baru sadar warna mantel kita sama.” Bulan menghela napas, ia tidak ingin berlama-lama. Alex melepaskan syal coklat yang ia kenakan. Lalu melingkarkannya ke leher Bulan yang putih bersih. Bulan terpaku sesaat. “Aku antar. Ini juga sebagian kesalahanku atas keterlambatanmu.” ucapnya mengenggam tangan Bulan—lagi.
***
“Pulang jam berapa nanti?” tanya Alex ketika tiba di depan kampus. Ia melirik Alex sejenak, sambil melepas seatbelt. “Hm, nggak usah ditungguin. Aku lama, mungkin sampe sore.” ucapnya sambil tersenyum. Ia melirik arlojinya penuh syukur, karena masih serempat jam lagi untuk menemui dosennya. “Hm, masuklah.” ucapnya setelah lama terdiam bisu. “Baiklah, makasih sebelumnya.” Ia membuka kenop pintu sambil melambai pada Alex yang menatap lurus jalanan. Bulan hanya mengangkat bahu sambil melangkah ke dalam gedung kampus. “Apa ada yang salah dengan ucapanku?” batinnya, dan tersenyum menenggelamkan wajahnya pada syal coklat yang melingkar di lehernya.
***
Ia menyeret kakinya lunglai, sambil sesekali mengumpat karena lift di apartemennya sedang rusak. Ia harus menaiki 10 lantai jika ingin sampai di apartemennya. Ia melepas high heels beludru abu-abunya, dan menjinjingnya karena tidak tahan akan sakit di kakinya. Kira-kira setengah jam berlalu, dengan susah payah menaiki tangga ia sampai di apartemennya. Namun belum sempat ia membuka pintu apartemen, seorang laki-laki bermantel abu-abu sedang duduk menekur di depan pintu apartemennya. Bulan sudah yakin kalau laki-laki itu adalah Alex. Alex menengadah ketika menyadari seseorang berada di depannya. Ia tersenyum ketika melihat Bulan menjinjing sepatunya. “Masih kuat jalan?” katanya sambil mengulurkan tangan meminta tolong untuk berdiri. Bulan menyambut uluran tangan tersebut, dan membantunya berdiri. Bulan mengatur napasnya sejenak, ia terlihat gugup di depan laki-laki yang sekarang berada beberapa senti dari wajahnya. “Sekarang kerja?” tanyanya memecah keheningan. Bulan menggeleng sambil membuka pintu apartemen. Selama empat tahun, belum pernah ada laki-laki yang masuk ke apartemennya. Namun entah mengapa, ia yakin pada  Alex. “Masuklah.” ucapnya.
Alex duduk di sofa soft pink miliknya. Ia melirik dekorasi apartemen milik Bulan yang sangat minimalis. Sementara itu, Bulan mengambil minuman untuk berbasa-basi dengannya. “Mau pergi jalan-jalan keluar hari ini?” tanyanya sumringah ketika Bulan meletakkan sirup melon di meja. Bulan menatap Alex ragu, sambil melirik kakinya yang serasa akan remuk. Ia menghela napas, dan duduk di samping Alex. “ Aku capek hari ini, mungkin lain kali.” ucap Bulan menolak dengan halus. Alex tersenyum menatap Bulan, dan bergeser duduk beberap senti darinya. Ia menepuk-nepuk pahanya, mengisyaratkan agar Bulan meletakkan kaki di pahanya. Bulan terlihat ragu, namun akhirnya meletakkan kakinya seperti yang Alex pinta. “Aku ingin jalan sehari ini denganmu, Bulan. Aku tidak tahu, entah besok, lusa, atau kapan sepertinya aku akan sibuk lagi.” ucapnya sambil memijit kaki Bulan karena kelelahan berjalan. Bulan menatapnya tak tega. Mata biru milik laki-laki Rusia itu, mampu menghipnotis perasaannya. “Baiklah, kita jalan.”
***
Alex memarkirkan mobilnya tepat di depan Istana Musim Dingin—salah satu icon kunjungan turis ke St. Petersburg. Senyum bulan terkembang, karena inilah tempat yang ingin ia kunjungi. Istana Musim Dingin terletak di tepi Sungai Neva. Walaupun ia sering melewati jalur ini, tetapi tidak pernah ada waktu untuk masuk ke Istana Musim Dingin—yang sekarang menjadi museum ternama. “Belum pernah ke sini?” tanya Alex saat menyadari antusias Bulan. Ia hanya menggeleng, dan dengan semangat melepas seatbeltnya.
Alex merapatkan syalnya yang mulai melonggar akibat terpaan angin. Ia berjalan ke arah Bulan, dan meraih tangannya. “Ayuuk, masuk.” ucapnya sambil tersenyum. Senyuman yang tentunya memiliki makna yang berbeda  untuk ditebak. Bulan hanya mengikuti setiap langkah Alex, dan membiarkan tangannya hangat oleh genggaman laki-laki itu. “Apa ini kencan?” tanya Bulan tiba-tiba yang tidak menyadari kekonyolannya. Alex seketika berhenti sebelum memasuki Istana Musim Dingin. Ia menatap Bulan lekat-lekat, dan melempar senyum yang menawan. “Anggap saja iya. Sehari ini anggap kita kencan.” jawabnya sungguh, dan melanjutkan langkah yang tadinya terhenti.
 “Aku capek. Ingin duduk.” pinta Bulan setelah satu jam lebih mengitari Istana Musim Dingin yang tak tertandingi kemegahannya. Arsitekturnya, kekokohan bangunannya, dan semua yang ada di Istana Musim Dingin terlihat sangat sempurna. “Yaudah, duduk di sini dulu.” Alex menyuruh Bulan duduk di salah satu bangku. Bulan mendesah karena kecapean, dan memijit-mijit betisnya yang sakit. “Sakit lagi?” tanya Alex. “Sedi—“ ucapannya terhenti, ketika ponsel Alex dengan nada dering White Lion—you’re all that i need  berbunyi nyaring. Alex segera berdiri, bibirnya terangkat, dan tersenyum. Ia pergi menjauh dari Bulan untuk menerima panggilan tersebut. Bulan menatapnya sesaat, dan melihat ekspresi Alex yang berubah—seakan menerima hidup kembali. “Bulan, maafkan aku. Aku ada urusan mendadak. Kamu bisa pulang sendiri kan? Ini penting sekali, Bulan. Maafkan aku.” Bulan hanya mengangguk, tersenyum, dan membiarkan punggung itu pergi—yang ia ragu akan kembali.
***
Tepat sudah lima bulan ia kembali pada kehidupan normalnya. Sendiri, dengan dikelilingi studi, dan pekerjaannya. Tanpa genggaman, tanpa perhatian, dan tentunya tanpa sosok Alex yang menghilang entah kemana. Semenjak Alex meninggalkannya di Istana Musim Dingin, tidak ada lagi cerita tentangnya. Semuanya lenyap—penuh pengharapan mati. “Mungkin memang sehari.” Ia membatin.
“Bulan, apa kamu sedang ada masalah? Aku heran melihatmu sekarang.” tanya Nikolai saat istirahat makan. Bulan hanya menggeleng, dan melanjutkan memakan hot dognya. “Tetapi, kamu terlihat lebih pendiam, murung, dan aneh. Sesekali aku melihatmu menangis entah kenapa. Apa karena laki-laki itu?” tanyanya lagi yang nyaris membuat Bulan tersedak oleh makanannya. “Kamu melihatku?” ucapnya melebarkan mata. Ia menggigit bibir, bahkan ia merasa sangat bodoh. Ia menghela napas, dan meneguk habis jus jeruknya. “Aku tidak ingin membicarakan tenta—“ Nikolai merangkulnya hangat—rangkulan itu berbeda dengan rangkulan Alex. “Bulan, aku mengenalmu tiga tahun. Aku sudah menganggapmu adikku. Bagaimana aku tidak tahu masalahmu?” Bulan meliriknya sejenak, ucapannya benar. “Kamu jatuh cinta, Bulan.”
***
“Selamat malam, Nona. Ada yang bisa saya bantu?” ucap Bulan ramah pada wanita yang terlihat seperti bidadari jatuh dari kayangan. Ia memberi daftar menu pada si wanita yang memiliki mata azure—seperti Tatyana. Ia mengedarkan ke segala arah sambil menunggu pesanan si wanita. “Aku menunggu kekasihku dulu, baru memesan.” Bulan mengangguk, dan melangkah ke meja kasir menemui Nikolai. Namun belum sempat ia tiba di tempat Nikolai, seseorang menyenggolnya hingga terjatuh. “Maaf, aku tida—Bulan?” ucapnya kaget. Laki-laki itu membantunya berdiri, dan betapa kagetnya Bulan ketika merasakan sentuhan, dan matanya. “Ia kembali.”
“Bulan, kenalkan ini Elena.” Bulan menjabat tangan Elena dengan senyum getir. Elena adalah wanita yang ia asumsikan mirip dengan mata Tatyana. Bulan mencoba untuk tersenyum, walaupun sangat sakit rasanya. “Aku ke belakang dulu, permisi.” ucapnya mohon diri tanpa melihat Alex. Ia menunduk menuju dapur. “Bisakah kamu menggantikan aku sebentar, Anna? Aku tidak enak badan.” pinta Bulan pada pegawai lain. Bulan menatap langit-langit dapur yang identik dengan bau steak sambil menahan air matanya.
Ia terduduk lemas—menangis lagi untuk kesekian kali di tahun ini. Tiba-tiba saja Nikolai telah berdiri di balik pintu, dan menatap Bulan prihatin. Ia berjalan mendekati Bulan, menatap wajahnya, menghapus air matanya, dan memeluknya. “Menangislah, aku di sini. Tidak akan ada yang tahu.” ucap Nikolai mempererat pelukannya. Bulan yang ketika itu butuh sandaran, hanya bisa menangis dalam pelukan Nikolai. “Aku mencintainya.” ucapnya pada Nikolai masih menangis.
***
“Kamu yakin tidak aku antar?” tanya Nikolai terdengar khawatir. Bulan menggeleng, dan menyandang tas sambil melangkah keluar cafe. Ia berjalan menunduk melewati satu persatu petak trotoar. Ia linglung tidak tahu harus bagaimana. Angin malam pun semakin kencang merasuki sendi-sendi tubuhnya. “Bisakah kita bicara sebentar, Bulan?” Bulan kaget, dan langsung membalik badan. Ia tahu, bahwa suara itu milik Alex. Ia menatap Alex nanar seperti hendak menangis, tetapi ia mencoba kuat. “Tentang apa?” tanyanya mulai dingin. “Kita.” Alex mendekati Bulan dengan  menjajari langkahnya. Ia meraih tangan Bulan, tetapi segera ditepis Bulan. “Langsung saja.” Alex menatap mata Bulan dalam. Ia tahu kepedihan gadis itu.
“Maafkan aku. Maaf atas menghilangnya aku lima bulan terakhir. Aku akan ceritakan semuanya.” Bulan mencoba tidak peduli atas cerita Alex, dan hanya mengangkat bahu. Ia tahu, cerita itu pasti menambah luka hatinya.
“Satu tahun yang lalu, Elena memutuskanku, dan bertunangan dengan orang yang dijodohkan orangtuanya di Paris. Saat itu, aku memang butuh sandaran. Entah mengapa aku malah berjumpa denganmu. Aku menghabisi banyak waktu denganmu, dan perlahan lukaku terobati. Bulan, ketika di Istana Musim Dingin, ia memintaku untuk menjemputnya di bandara. Pertunangannya batal. Aku tidak berbohong tentang hal ini, aku mencintaimu, Bulan.” ucapnya getir. “Tidak untuk sekarang.” balas Bulan cepat sebelum melayang terlalu jauh. “ Bulan, aku—.” “Kembalilah. Aku tidak ingin memperpanjang masalah. Hubungan kita bukan apa-apa hanya.. ya seperti yang kamu katakan. Kencan sehari. Yap, cukup sehari, dan setelah itu kita kembali normal. Tenang saja, semuanya sudah usai. Aku tau, Alex. Kamu ragu dengan perasaanmu ketika bertemuku lagi kan? Haha. Aku tidak akan muncul di depanmu lagi. Bahkan tidak di negara ini lagi.” ucap Bulan penuh keyakinan. Ia percaya waktulah yang akan membuatnya normal. “Apa maksudmu, Bulan?” Alex terkejut mendengar pernyataan Bulan. “Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi.” “Bulan, aku mencintaimu.” ucap Alex, dan menarik Bulan dalam pelukannya. Bulan merasakan detak jantung laki-laki itu begitu kencang. Bulan bergeming, tanpa membalas pelukan laki-laki itu. Ia ingin menyudahi semuanya. Bulan melepaskan pelukan Alex. Ia tersenyum pada Alex sambil melepaskan syal coklat yang ia kenakan. Ia menyadari bahwa Alex tidak mengenakan syal, ataupun mantel. Ia melingkarkan syal milik Alex di lehernya. “Do cvidaniya—selamat tinggal.”
***
Bulan menatap layar ponsel dengan pedih. Wallpaper ponselnya masih terpasang fotonya bersama Alex saat di Istana Musim Dingin. Ia meraba-raba wajah Alex, yang beberapa jam lagi akan sepenuhnya menjadi masa lalunya. Ia menghela napas, dan dengan keyakinan berusaha tidak menginjakkan kaki di negeri ini, kecuali dengan alasan menemui Nikolai—laki-laki yang ia nobatkan sebagai kakak angkatnya. “Mrs? Your Handhphone, please?” ucap seorang pramugari agar ia mematikan ponselnya segera, karena pesawat akan lepas landas.
Ia mengubah posisi duduknya senyaman mungkin, sambil melirik ke arah jendela. Pesawat perlahan mulai mengudara, berjalan menjauhi landasan, dan Bandara Palkovo. “Selamat tinggal masa lalu.” Ia membatin sambil memejamkan matanya untuk tidur.
Ia meregangkan seluruh urat-urat syarafnya. Perjalanan dari Rusia ke Indonesia menyebabkan ia harus duduk berlama-lama. Setelah melalui perjalanan selama 30 jam, dengan melewati transit di Bandara Schiphol, Amsterdam, dan Kualalumpur. Ia menyeret semua kopernya penuh kelegaan, karena berhasil menginjakkan kaki di tanah kelahirannya. Ia mengaktifkan ponselnya, dan menghubungi keluarga bahwa ia telah tiba di Bandara Soekarno-Hatta. “Ibu sudah di tempat penjemputan.” Bulan berjalan keluar bandara dengan tersenyum lebar ketika melihat ibu, dan adik laki-lakinya—Gilang memanggil namanya. “Bulaaan....” teriak ibunya sambil menunjuk-nunjuk ke arah yang ia tidak mengerti. Secara spontan ia membalik badan, dan nyaris pingsan. Ia melihat Alex tepat di belakangnya sambil mengangkat papan nama bertuliskan ‘I wanna see my girl, please. BULAN’. Bulan nyengir melihat tulisan yang dipegang oleh Alex, dan tetap tidak mengerti apa yang terjadi. Alex berjalan di samping Bulan dengan senyum yang ia sendiri tidak mampu menahan pesona laki-laki itu. Alex mengenggam tangganya—hangat—sentuhan yang ia rindukan.
Ya Iyublyu Tebya—Aku mencintaimu.”
*** the end


Tidak ada komentar:

 

Translate

Cari Blog Ini

We Wish

Jika Kalian mengunjungi blog ini,tolong tinggalkan komentar unruk mengetahui seberapa menariknya blog ini makasih ^^